Posts Tagged ‘Ki Hadi Sugito’

Peluncuran Buku Ki Hadi Sugito – Guru yang Tidak Menggurui.


Dikutip dari situs Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta :

PELUNCURAN BUKU KI HADI SUGITO:
GURU YANG TIDAK MENGGURUI

Dalam rangka menyemarakkan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa Sri Sultan Hamengku Buwana X, Maskarja (Masyarakat Karawitan Jawa) dan ISI Yogyakarta menyelenggarakan acara Peluncuran Buku Ki Hadi Sugito-Guru yang Tidak Menggurui yang kemudian dilanjutkan dengan pementasan wayang kulit semalam suntuk dengan dalang Ki Wisnu Hadi Sugito (putra almarhum Ki Hadi Sugito) dengan lakon Kresna Wisudha. Acara itu sendiri digelar hari Jumat, 30 Desember 2011 mulai jam 20.00-04.00 WIB.

Buku yang diberi judul Ki Hadi Sugito-Guru yang Tidak Menggurui itu sendiri merupakan buku yang dipersembahkan oleh Maskarja dan ISI kepada almarhum Ki Hadi Sugito dan keluarganya, masyarakat pedalangan, dan seluruh masyarakat yang mempunyai kecintaan terhadap wayang kulit, khususnya gaya Ngayojan -Hadisugitan.

Sesuai dengan sambutan yang disampikan Ki Udreka, S.Sn. selaku Ketua Panitia dalam acara ini, ia berharap bahwa acara tersebut bermanfaat bagi sebanyak-banyak orang. Ia juga berharap bahwa apa yang ditinggalkan Ki Hadi Sugito bisa berguna untuk kita semua khususnya masayarakat pedalangan. Acara ini digelar juga dalam rangka mendoakan arwah almarhum Ki Hadi Sugito.

Ketua Maskarja, Prof. Dr. Timbul Haryono dalam sambutannya menyatakan bahwa dalam masyarakat Jawa guru itu tidak selalu mengacu pada orang yang bertugas mengajar di depan kelas (formal). Almarhum Ki Hadi Sugito dalam pandangannya adalah guru di dalam masyarakat.Langsung berpraktik di dalam masyarakat melalui segala kiprahnya. Bukan terbatas pula dalam dunia pedalangan, tetapi juga penyuluhan dan informasi dalam masyarakat penggemarnya. Maskarja juga berterima kasih karena telah diperkenankan ikut mikul ”dhuwur mendhem jero” sosok Ki Hadi Sugito. Semua terlaksana karena dukungan banyak pihak terutama ISI Yogyakarta. Maskarja berharap buku tersebut berguna bagi masyarakat umum. Selain itu Maskarja juga berterima kasih kepada keluarga almarhum Ki Hadi Sugito.

Rektor ISI Yogyakarta, Prof. Dr. A.M. Hermien Kusumayati dalam sambutannya menyatakan rasa terima kasihnya kepada keluarga Ki Hadi Sugito karena bersedia berpentas wayang di ISI. Ia juga berterima kasih kep ada Maskarja karena bersedia membantu ISI dalam penerbitan buku tentang Ki Hadi Sugito yang telah direncanakan dua tahun yang lalu. Rekto ISI juga menyatakan bahwa acara ini sekaligus untuk menyemarakkan penganugerahan gelar doktor honoris causa bagi Sri Sultan Hamengku Buwana X.

Bedah buku itu sendiri menghadirkan 2 pembicara, yakni Dr. Aris Wahyudi, M.Hum. dan Drs. Christanto Wisma Nugraha, M. Hum dan dimoderatori oleh Dewanto Sukistono, M.Sn.

Aris Wahyudi menyatakan bahwa penulisn buku ini bersifat estafet, yakni tulisan yang satu menjelaskan dan melengkapi tulisan yang lain. Hal-hal penting mengenai Ki Hadi Sugito dituliskan dalam buku ini dan yang menuliskan atau menyatakan pendapatnya atas diri Ki Hadi Sugito itu berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari orang yang tidak mengenal Ki Hadi Sugito sampai dengan orang yang sangat kenal dengannya. Orang-orang itu pun berasal dari berbagai latar belakang profesi. Ada awam, pengrawit, dalang, akademisi, dan sebagainya.

Aris Wahyudi sebagai pembahas pertama juga menyatakan bahwa Ki Hadi Sugito termasuk dalang yang sangat jeli menghatur manajemen adegan. Ki Hadi Sugito juga dikenal sebagai dalang yang konsisten dengan pedalangan gaya Ngayojan. Ia menampilkan tokoh-tokoh yang kadang-kadang menurut silsilahnya berbeda dengan silsilah yang selama ini dianut tradisi pedalangan Solo, misalnya. Namun semua yang dilakukan Ki Hadi Sugito bisa dipertangg ungjawabkan karena ia juga memiliki acuan sumbernya.

Bagi Christanto Wisma Nugraha, buku tentang Ki Hadi Sugito ini kelihatan seperti agak tergesa-gesa disusun. Ejaan dan konsitensi penggunaan istilah atau kosa katanya belum terjaga dengan baik. Buku ini bagian dari ”memule” atau ”mikul dhuwur mendhem jero” Ki Hadi Sugito. Dalam buku ini cukup bagus sebagai im memorial Pak Gito.

Pak Gito sendiri sebagai dalang memiliki spesifikasi identitas individual yang tidak dimiliki dalang lain. Identitas ini telah tertanam pada penonton (audiens) aktif dan pasifnya. Audiens pasifnya sebenarnya jauh lebih besar dari audiens aktifnya. Audiens pasif itu bisa dirujuk pada para pendengar siarannya dari radio.

Pak Gito bisa menyuguhkan pagelaran dengan bahasa sehari-hari yang dipadukan dengan bahasa pedalangan lengkap dengan dialek bahasa gaya Jogja dan juga sub-sub dialek gaya bahasa Jogja model Wates (Kulon Progonan). Bahkan juga dengan idiolek-idioleknya yang hal ini menjadi inspirasi bagi narasi dan plot-plotnya. Pak Gito bagi Christanto juga dianggap sebagai dalang yang ”tengen” (tanggap dan cermat) dalam mengamati kehidupan sehari-hari, di mana hal ini bisa menjadi insipirasi yang memikat dalam pementasannya. Pak Gito bisa mengelola tata kelola pementasan. Paham tentang relasi pentas-panggung dengan niyaga-sinden-masyarakat, dan seterusnya. Semua adegan dalam semua lakon bisa dihidupkannya.

Pementasan Pak Gito adalah pementasan yang enak ditonton sekaligus juga enak didengarkan. Pak Gito disebut sebagai dalang ”nglomot” (bersahaja) namun berwibawa. Ia juga mampu menarik imaji mitos (mitologis) para tokoh wayang masuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Ia bisa menampilkan masalah yang rumit menjadi sederhana. Realitas sehari-hari dapat ditangkapnya dengan jeli dan cerdik untuk jadi bahan kelengkapan pementasan yang menarik.

Di Jogja sendiri penerbitan buku tentang dalang itu bisa dikatakan langka. Penelitian tentang dalang nyaris selalu berhenti di perpustakaan. Kasus lainnya adalah persoalan royalti. Banyak rekaman atas dalang (termasuk Pak Gito) tidak pernah terpikirkan soal royaltinya.

Pak Gito termasuk dalang yang bertradisi oral. Bukan teks. Untuk itulah salah satu kelebihan Pak Gito adalah pada sisi ini yang mana hal ini relatif jarang dimiliki oleh dalang-dalang generasi muda.

a.sartono